Sunday, November 30, 2008

La lumière

……setitik cahaya seketika berubah menjadi sangat menyilaukan, dan semakin menyilaukan saat sosok itu muncul… dekat dan tepat searah pandangannya saat dia menengadah… Dekat dan tepat hingga dia tak mampu berpaling.Rekaman – rekaman otaknya terputar tanpa bisa dikendalikan. Berbagai perasaan muncul tanpa bisa dihentikan, perasaan – perasaan yang dulu, saat dia suka mencari – cari cahaya ini atas nama –damai-, perasaan – perasaan dulu yang akhirnya dia hentikan, juga atas nama –damai-. Tapi saat dia muncul lagi kini, sepasang sayap malaikat dengan sempurna terpasang pada tulang rusuknya, membuat sorotan cahayanya menjadi silau sehingga tidak lagi membawa kedamaian…. Silaunya seketika menciptakan kekalutan yang pekat.

“Aku benci ini…” kalimatnya tercekat di dalam hati, yang sebenarnya ingin dia teriakkan saat itu juga pada silau. “Aku tidak ingin dia lagi…” kalimat selanjutnya, masih tercekat di dalam hati.
Sayap malaikat itu tersenyum, mendengar setiap kata dari kalimat – kalimat yang tercekat.

Dia melihat sayap malaikat itu tersenyum, lalu membaca setiap kata dari senyumannya, kata – kata yang membuatnya sangat marah, “Jangan berlagak. Lihat, rasa itu masih ada, kamu masih mendamba…”


……. Kemarahannya membuat dia terbangun. Sesaat kemudian dia senang melihat kamarnya yang gelap. Silaunya hilang. Mimpinya lenyap. Jendela kamarnya terbuka sehingga dia bisa melihat langit malam yang tenang… Lalu dia tersenyum, “Aku tidak mau kamu lagi. Aku tidak akan menghirup damaimu lagi. Aku tidak akan biarkan kamu mengendalikan siang-ku, mengendalikan mimpi-ku. Aku tidak akan biarkan kamu dekat – dekat dengan hatiku lagi. Kamu memang sempurna, tapi aku tidak akan pernah membiarkan diriku menginginkan kamu lagi”.


………… Dan langit malam membuatnya tenang, sehingga kedua matanya kembali terpejam, dalam hati dia menyampaikan kata – kata yang dia dapat dari seorang teman pada suatu siang, “biarkan yang sempurna tersimpan di dalam mimpi, supaya kita mampu membahagiakan hidup kita dalam ketidak-sempurnaan. Selamat malam, langit…”


Tuesday, Nov 25th 08 –sous la ciel du soir

Sunday, November 16, 2008

makna teman dalam sebuah kenyataan


Mungkin sebagian orang akan mengatakan terlambat, saya mengenal makna "teman" saat usia saya menginjak 11. Dia adalah bocah laki-laki bernama Putra(*). Dia yang membuat saya pertama kali merasakan arti teman, lebih dari sekedar bermain bersama di sekolah atau sepulang sekolah, lebih dari sekedar bertukar tugas - tugas sekolah... Dia membingkai sebuah pertemanan dengan arti yang lebih "dalam"; sebuah ruang di mana anda dapat bersandar. Dia adalah orang yang pertama kali membuat saya berani menampilkan sisi kelam hidup saya. Saya menceritakan kegelisahan saya di rumah - saat orangtua saya sedang bertengkar, saya menangis, saya mengeluh... dan dia mendengarkan saya, menenangkan saya, mencoba mencarikan jalan keluar (dengan pola pemikiran anak seusianya - waktu itu) dengan tulus. Ya, tulus, karena saya bisa merasakannya. Pertama kalinya saya rasakan, saya bisa berkonsultasi dengan seorang teman, tanpa akan ada sejumlah harga yang harus saya bayar.

Kemudian saya mengenal gadis kecil yang tomboy bernama Aurel(*), waktu saya baru lulus sekolah dasar. Di mata saya, dia punya banyak kelebihan; aktif, lincah, ceria, pintar, dan masih banyak lagi, tapi satu yang paiing berarti; dia mengenalkan saya arti kebersamaan.
Bisa dikatakan saya tumbuh besar bersamanya. Kami berbagi banyak hal, saya menemukan sebuah rumah bagi saya, di dalam rumahnya. Saya menemukan satu keluarga baru bagi saya, begitu juga sebaliknya, dia menganggap rumah saya seperti rumahnya sendiri, for better or worse. Kadang lucu kalau di-ingat, dia suka minggat ke rumah saya selama seminggu, kalau sedang 'bermusuhan' dengan bapak, ibu, atau saudaranya. Lucunya, asal tahu Aurel ada di rumah saya, orangtuanya tidak akan mencarinya lagi dan menyuruhnya pulang, akhirnya Aurel akan pulang dengan sendirinya. Kami bagaikan memiliki dua pasang orang tua, and two groups of siblings.
We path our life chapter by chapter in togetherness...

Ada bagian dimana kami mulai mengenal 'laki-laki' dalam arti yang lain. Ada moment-moment kami 'kegenitan' jadi supporter team basket sebuah SMA yang pemainnya cakep-cakep, sehingga kami pulang larut, waktu itu ke rumah Aurel, dan kami tidak diijinkan masuk rumah sehingga kami terpaksa menunggu di teras rumahnya sampai hampir pagi. Ada moment-moment indah saat kami mulai berbagi pikiran mengartikan kata 'cinta'. Bagaimana Aurel harus menyimpan perasaan cinta pada seorang laki-laki, teman kami di sekolah, hingga kami lulus dan laki-laki itu harus pindah ke luar pulau. Lalu bagaimana Aurel menjadi tameng saya waktu saya pacaran ke kiri dan ke kanan, sehingga Aurel harus repot ‘menyembunyikan’ dosa-dosa saya. Dan bagaimana kami mulai sama-sama belajar menerima kenyataan bahwa kami harus berpisah dengan laki-laki yang telah bertahun-tahun kami cintai.
Ada bagian dimana kami dengan rakusnya menjajali segala macam aktifitas, dari yang ‘halal’ sampai yang ‘haram’, dari yang menghasilkan uang sampai yang melanggar hukum, dari yang membanggakan sampai yang menyedihkan. Ada moment-moment kami mencoba ilmu bela diri, yang akhirnya membuat Aurel tertarik dan sempat menekuninya selama beberapa tahun, sementara saya menyerah hanya dalam beberapa kali latihan. Ada moment kami mulai hobby memanjat pagar SMA di jam sekolah untuk melarikan diri. Ada moment kami mulai ‘berlatih’ merokok, lalu menjadi monster pemakan rokok, masing-masing dua bungus bisa habis satu hari (!?!). Ada moment kami main band, lalu mengumpulkan piala sebanyak-banyaknya atas nama sekolah. Ada moment kami mencoba ganja di kamar kos mbak-mbak mahasiswa, lalu ketakutan sendiri dan (Alhamdulillah) langsung kapok dan trauma. Ada moment saat kami menenggak pil-pil yang sedang nge-trend di kalangan siswa-siswa bandel waktu itu, yang membuat kami tertidur di kelas dari jam pertama mata pelajaran dimulai hingga bel pulang berbunyi. Ada moment-moment kami menjadi anggota gank crosser illegal yang suka taruhan nge-track sembarangan di jalan raya. Ada moment-moment saat kami hobby mengumpulkan uang semasa kuliah, untuk tambahan jajan. Ada moment-moment kami gila clubbing dan kecanduan alcohol. Ada moment saat Aurel geleng-geleng kepala melihat saya jadi aktifis kampus, sementara dia benci setengah mati dengan kampusnya. Ada moment-moment saat Aurel tidak berani pulang kerumahnya karena ketahuan menginap di kos-kosan pacarnya. Ada moment-moment kami terlalu malas beranjak dari kamar saya selama berminggu-minggu, mengorbankan waktu kuliah hanya untuk main scrabble dan main kartu sambil menghabiskan berpuntung-puntung rokok, lalu hijrah ke rumah Aurel hanya untuk mendekam di kamarnya untuk berminggu-minggu berikutnya, untuk ‘menghabiskan’ ber puluh-puluh keping DVD bajakan, mengagumi berbagai macam serial Asia. Ada moment saya (gantian) tidak berani pulang ke rumah karena gagal sidang skripsi. Ada moment-moment kami sibuk berlatih billyard, ikut kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Ada moment dimana Aurel berubah menjadi sangat feminine, berdandan setiap hari, belanja setiap hari, lalu flirting-abis dengan para laki-laki bermobil mewah, dan saya pasrah ‘menyediakan’ wajah saya untuk ‘bahan percobaan’ dandanannya, ‘menyediakan’ telinga untuk mendengar semua ilmu mode yang dia dapatkan, juga ‘menyediakan’ kaki untuk mengikutinya ‘bertamu’ ke berbagai counter yang berbau fashion; mulai dari factory-outlet, hingga boutique mahal.
Ada bagian dimana kami berbagi rasa pahit bersama. Moment-moment saat Aurel dengan sangat terpaksa menyembunyikan skandal perselingkuhan Bapaknya. Moment-moment saat keluarga saya mengalami ‘krisis moneter’ yang sangat drastis. Moment saat Aurel melihat pacarnya mencium perempuan lain. Moment saat pacar saya terjerat kasus narkotika. Moment saat ibunya meninggal dunia. Moment saat keluarga saya pindah ke luar kota karena rumah saya yang selama ini menjadi ‘markas-besar’ saya dan Aurel harus dijual, dan saya harus ‘menyembunyikan-identitas’ di kota tempat saya lahir dan tumbuh besar. Moment saat saya menjerit histeris di kamar Aurel, karena dia nekat menenggak antibiotic dalam dosis yang ‘ngawur’, saat dia tertekan masalah. Moment saat Aurel memaki-maki saya karena melakukan hal yang sama, dalam bagian hidup yang lain.
Dengan Aurel, kembali saya merasakan, bahwa ada ‘teman’ dalam hidup saya, dan saya tidak perlu takut melangkah. Life can be so simple when you’ve got a friend.

Lalu Ni Luh(*), peran lain yang hidup dalam kehidupan saya dari waktu ke waktu, dan memberikan makna lain untuk ‘teman’; keterikatan.
Ni Luh mulai ada di kehidupan saya waktu kami mulai menginjak tahun ke-dua di junior high school, kira-kira setahun setelah perkenalan saya dengan Aurel. Awalnya saya jengah menghadapi Ni Luh. Berbeda dengan Aurel yang periang dan ‘banyak acara’, Ni Luh sangat sensitif dan pendiam. Dia cepat panik dan gampang menangis.Sampai dua tahun berikutnya, bagi saya Ni Luh hanya seorang gadis rumahan yang punya pemikiran-pemikiran aneh yang tidak bisa saya mengerti.
Keterikatan kami bermula di SMA, saat dia mulai ‘terkontaminasi’ kebandelan saya. Saya ajarkan dia mengendarai sepeda motor, sampai dia mampu membonceng saya di jalanan berkelok-kelok penuh jurang dengan berseragam SMA. Bisa dikatakan Ni Luh cukup banyak ‘tertular’ sifat ‘iseng’ saya. Waktu saya dan Aurel tertidur sepanjang jam pelajaran sekolah’ gara-gara’ pil yang nge-trend waktu itu, dia ikut mencoba walaupun hanya ‘berani’ satu butir dan tidak sampai tertidur. Dan saya juga tidak akan mampu menolak bila diadili sebagai ‘tersangka’ yang mengakibatkan Ni Luh menjadi seorang perokok. Tapi ‘kekuatan’ Ni Luh juga tidak kalah besar dalam mempengaruhi jalan hidup saya….
Selain kisah cinta Ni Luh yang sangat (bahkan terlalu) dalam dan berliku, dan akhirnya tragically ended, Ni Luh tidak banyak melalui ‘tikungan’ seperti Aurel dan saya, sehingga saya tidak bisa membagi Ni Luh berbagai perasaan dan pikiran saya sebanyak yang saya bagi dengan Aurel. Tapi Ni Luh selalu ada di belakang saya. Dia selalu menemani, mendengarkan, dan mengikuti langkah-langkah pikiran saya… Menurut saya, dia menguasai karakter saya. Dia mengetahui setiap sisi kelebihan dan kelemahan saya…
Dan sekali lagi, saya tidak pernah merasakan sedikitpun adanya ‘ancaman’. Dia ada sebagai seorang ‘teman’. Dia ada untuk mengingatkan saat dia merasa saya kehilangan arah. Dia ada untuk diam di samping saya saat saya menangis, tanpa harus selalu tahu kenapa saya menangis. Dia ada bersama saya untuk ikut merayakan saat-saat cerah. Dia ada untuk ikut merasakan saat-saat gelap dalam hidup saya…


Saya mencintai mereka, dengan sepenuh hati saya. Saya menghargai hadirnya mereka di setiap detik hidup saya. Tapi saya baru berhasil memaknai peran mereka, setelah kami berpisah. Saya pindah ke Jakarta dan mengalami kehidupan kantor yang hectic, timeless, dan berangsur-angsur kehilangan kuantitas waktu dengan mereka…
Aurel yang pertama menikah, dengan laki-laki dari Kalimantan yang baru dia kenal. Saya hampir menangis waktu hadir di hari pernikahannya, ada perasaan ‘ngeri’ melihat teman seperjuangan saya menempuh hidup baru, tapi akhirnya perasaan itu hilang setelah melihat dia girang setengah mati pada hari itu. Kemudian karir Aurel di sebuah Bank di sebuah kota kecil di Jawa Timur secara unstoppably raising, dan kehidupan baru-nya pun menjadi full-booked oleh karir dan ber-rumah tangga.
Empat bulan kemudian Putra menikah, dengan wanita yang belum sempat dia kenalkan pada saya. Dia sempat mengundang saya via telp. untuk datang ke pesta pernikahannya, tapi saya tidak bisa hadir karena tidak dapat cuti. Kami sempat berbincang dan saling menceritakan keadaan kami, dan Putra, masih ‘Putra’ yang dulu, dengan tulus mendengar segala ketidak-puasan hidup saya, menanggapi tanpa membuat saya merasa ‘dikasihani’, dan mencarikan solusi menurut cara pandang dan pemikirannya. Beberapa hari kemudian saya kehilangan nomor handphone Putra dan sejak itu kami tidak pernah berkomunikasi lagi.
Ni Luh… Saya tidak tahu. Beberapa bulan ini dia ‘menghilangkan’ jejaknya, walaupun saya sudah berkali-kali mencoba menghubunginya. Beberapa teman lain sampai sudah ‘menyerah’, tidak ada yang berhasil menghubunginya. Saya menghubungi keluarganya dan tahu bahwa dia baik-baik saja, tapi tetap tidak dapat langsung berkomunikasi dengan Ni Luh.

Yang saya tahu, kehidupan kami masing-masing terus berjalan. Dan kami melalui hari demi hari bersama orang-orang lain yang juga memberi arti. Tapi bagi saya,peran ketiga teman saya ini terbingkai dalam satu masa yang sempurna. Mungkin tanpa mengenal Putra, saya tidak pernah berani mencoba menunjukkan ketidak-sempurnaan dan menyadari bahwa ada orang lain yang mau berbagi ‘sandaran’. Tanpa hadirnya Aurel, saya tidak pernah mencicipi hidup stage by stage dengan berani dan melalui setiap check-point-nya dengan bangga. Dan tanpa adanya Ni Luh, saya tidak pernah merasa ‘aman’ melalui rotasi kehidupan saya.
Kini saya ada dalam kehidupan dimana tidak ada seorang-pun saling bersandar. Dan karena setiap titik kelebihan dan kelemahan menjadi sebuah ancaman, setiap stage kehidupan bagaikan sequel film horror yang mengharuskan saya terus terjaga bahkan di area check-point, agar tidak terjatuh di stage berikutnya. Tapi saya tidak akan menyerah, karena saya telah memiliki masa-masa yang sempurna, dimana saya belajar berjuang memutari waktu bersama Putra, Aurel, dan Ni Luh. Dan inilah waktu untuk saya berjuang di atas kaki saya sendiri, berbekal harta yang sangat berharga yang saya miliki, masa yang sempurna.

Tribute to Dilla, Ika, and Noorman. You guys are a packet of a gift that God has put into my life. And though we’re no longer share each part of our lives, but all we’ve got in togetherness has become a great treasure for me to keep living a life. I love you guys...


(*)bukanamasbnrnya

Friday, November 7, 2008

Inspiré dans un coup d'oeil; cette après-midi

saat gerimis miris mengusir siang pada basah senjaku
dan jalanan macet menusuk caruk jiwaku
ketika nafas tercekik udara pengap
dan gugusan harapan tentang kedamaian memudar...
aku kembali terbang ke dalam kenangn
karena hanya kenangan, kedamaian terindahku

malang-jakarta; 5-10-08

kini segala kenangan mulai memuai
menjelma menjadi serpih-serpih cahaya,
membuncah dalam selaksa malam

Types of drunk friends Part One; The Newbie

Happy New Year 2018! What kind of New Year Eve's people are you? Are you the one who do terrible things in bars? Or throwing an old-fa...